Pracimasana

Jl. RA Kartini, Kota Surakarta

081326159199

WhatsApp Customer Support

Buka Setiap Hari

Jam Buka: 10.00 - 22.00

Matah Ati: Ketika Sejarah Menari di Jantung Mangkunegaran

Senin malam, 10 September 2012, halaman megah Pamedan Istana Mangkunegaran, Solo, berubah menjadi panggung sejarah hidup. Di tempat penuh jejak kejayaan ini, sebuah sendratari kolosal berjudul “Matah Ati” dipentaskan untuk pertama kalinya. Tak tanggung-tanggung, sekitar 250 penari terlibat dalam pertunjukan ini — membawakan kisah cinta dan perjuangan yang berasal dari tanah yang mereka pijak malam itu.

Pertunjukan ini bukan hanya menyajikan keindahan gerak tubuh, tetapi menghidupkan kembali epos legendaris antara Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) dan Rubiyah, seorang gadis rakyat jelata dari Desa Matah, yang kelak dikenal sebagai Raden Ayu Matah Hati. Dan ketika kisah itu diceritakan di tempat kelahirannya, Pura Mangkunegaran, atmosfernya menjadi sangat magis.

Megahnya Panggung, Dalamnya Cerita

Disutradarai oleh Atilah Soeryadjaya, cucu dari Mangkunegara VII, sendratari Matah Ati menghadirkan perpaduan harmonis antara seni pertunjukan modern dan narasi sejarah tradisional. Dengan tata panggung tiga tingkat, salah satunya dibangun dengan kemiringan 45 derajat, pentas ini tampil unik dan teatrikal. Di balik layar, maestro artistik Jay Subyakto menciptakan dunia visual yang hidup — mulai dari sorotan lampu hingga video mapping di bangunan tua Kavaleri yang berdiri sejak 1874, membuat penonton seolah benar-benar hadir di abad ke-18.

Para penari bergerak mengenakan kostum warna-warni yang dinamis, yang berpadu sempurna dengan tata cahaya artistik — menciptakan ilusi visual yang menghipnotis ribuan pasang mata yang menyaksikan. Tak heran, tak banyak yang beranjak dari kursinya sepanjang pertunjukan berlangsung.

Kisah Cinta di Tengah Perlawanan

Namun, bukan sekadar soal estetika. “Matah Ati” adalah tentang keberanian, cinta, dan pengorbanan. Kisahnya berakar dari masa ketika tanah Jawa sedang bergolak — rakyat bangkit melawan penindasan dan ketidakadilan kolonial VOC. Di tengah api perlawanan itu, berdirilah seorang bangsawan muda dari Surakarta, RM Said, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.

Ia tak hanya disegani karena keberaniannya memimpin pemberontakan, tetapi juga karena kisah cintanya yang menyentuh: jatuh hati pada Rubiyah, seorang gadis dari desa kecil bernama Matah. Bukan sekadar hubungan asmara, tetapi kemitraan spiritual dan emosional yang memberi kekuatan pada perjuangan RM Said. Rubiyah pun tak tinggal diam — ia membulatkan tekad menjadi bagian dari perjalanan sang ksatria, menjadi istri, sekaligus penyemangat dan simbol kekuatan perempuan dalam kancah perjuangan.

Nada Anak-anak dan Satir Dewasa

Pertunjukan ini juga tak lupa merayakan akar budaya Jawa. Tembang-tembang dolanan seperti “Padang Bulan”, “Soyang”, hingga “Jamuran” dinyanyikan di tengah-tengah adegan, menghidupkan kembali lagu-lagu anak yang nyaris terlupakan. Ada nuansa nostalgia yang mendalam ketika tembang masa kecil itu bergema di istana.

Tak hanya itu, banyolan-banyolan segar dari empat seniman perempuan turut diselipkan di sela-sela cerita. Dengan cerdas, mereka menyisipkan kritik sosial — dari urusan korupsi hingga ironi kehidupan modern — yang membuat penonton tersenyum sekaligus merenung.


Lebih dari Sekadar Pertunjukan

Matah Ati bukan hanya pementasan tari. Ia adalah jendela yang membuka kembali satu bagian penting dari sejarah Jawa, yang kerap dilupakan: peran perempuan dalam perjuangan. Ia juga mengajak kita menyadari bahwa cinta sejati tak hanya soal asmara, tapi juga tentang berdiri bersama dalam badai — memperjuangkan keadilan, menyatukan keberanian dan kelembutan dalam satu langkah yang harmonis.

Dan malam itu, di bawah cahaya bulan Solo, sejarah tak lagi diam. Ia menari — melalui Matah Ati.

0
  • ⚠️ Checkout hanya dapat dilakukan jika Anda telah memasukkan item reservasi. Silakan kembali ke halaman reservasi.
0
Reservasi/Menu Anda
Keranjang Belanja Anda KosongKembali untuk Pilih Reservasi/Menu Anda