Ketika sejarah Jawa masa lampau lebih banyak mengangkat kisah raja dan para prajurit lelaki, satu nama perempuan mencuat sebagai pengecualian: Raden Ayu Matah Hati. Sosok perempuan tangguh dari tanah Klaten ini bukan hanya cantik parasnya, tapi juga gagah berani memanggul senjata di medan tempur — sebuah hal yang sangat jarang ditemukan dalam narasi sejarah Jawa sebelum abad ke-20.
Perempuan ini awalnya dikenal dengan nama Roro Rubiyah, lahir dan tumbuh besar di sebuah dusun kecil bernama Matah, tak jauh dari Gunung Wijil. Dari sanalah ia kelak dikenal dengan gelar kehormatan Matah Hati — atau dalam beberapa versi, disebut juga Matah Ati, yang secara harfiah bisa bermakna ‘patah hati’, namun dalam konteks ini merujuk pada kekuatan batin dan keindahan jiwa.
Apa yang membuat Roro Rubiyah berbeda? Ia tercatat sebagai bagian dari barisan prajurit perempuan yang bertempur langsung bersama Raden Mas Said, pemimpin gerilya yang kelak dinobatkan sebagai Mangkunegara I. Kiprah para srikandi ini tak hanya tercatat dalam legenda rakyat, tetapi juga didokumentasikan dalam Babad Nitik Mangkunagara — semacam catatan harian bangsawan, yang menyebutkan bagaimana pasukan perempuan bahkan kadang lebih unggul dibandingkan para prajurit laki-laki: lebih cermat, lebih sabar, dan lebih luwes dalam strategi.
Penelitian dari Desy Nurcahyanti dan timnya yang dimuat dalam jurnal Panggung tahun 2021, menggali kembali kisah para estri pejuang ini dalam konteks budaya Jawa, terutama lewat simbolisme batik dan posisi perempuan dalam struktur sosial masa itu. Dan Matah Hati menjadi ikon sentral dari narasi tersebut.
Kisah kepahlawanannya bahkan menginspirasi seniman Atilah Soeryadjaya, cucu dari Mangkunegara VII, untuk menciptakan sebuah pertunjukan kolosal berjudul Sendratari Matah Ati — sebuah pentas tari megah yang melibatkan ratusan penari dan telah tampil di berbagai kota serta negara, mulai dari Jakarta, Singapura, hingga Malaysia, dengan pertunjukan puncak di halaman utama Pura Mangkunegaran.
Namun tak hanya keberanian dan kecerdasannya yang menarik perhatian Raden Mas Said. Roro Rubiyah, sebagaimana disebut dalam kisah, memikat sang pangeran lewat pesona alami dan tanda khusus pada kain yang dikenakannya. Dari sanalah tumbuh benih cinta yang kelak menyatukan keduanya dalam ikatan pernikahan. Setelah Mangkunegara I resmi bertakhta, Rubiyah pun mendapatkan gelar agung: Bendara Raden Ayu Matah Hati.
Sosoknya menjadi inspirasi: istri, pejuang, penasihat, sekaligus penjaga nilai-nilai luhur perempuan Jawa yang tak hanya berada di dapur atau keraton, tapi juga mampu memegang peran dalam sejarah besar.
Matah Hati wafat pada tahun 1814, namun permintaannya yang terakhir mencerminkan jiwanya yang berbeda dari perempuan istana kebanyakan. Ia tak ingin dimakamkan bersama trah Mangkunegaran di kompleks Astana Mangadeg, Girilayu — tetapi memilih tempat peristirahatan yang jauh dari hiruk pikuk kekuasaan.
Sebuah penanda terakhir dari seorang perempuan luar biasa — yang pernah hadir sebagai cahaya di tengah gelapnya medan perang, dan yang hingga kini, jejaknya perlahan disibak kembali oleh mereka yang mencintai sejarah.
sumber: nationalgeographic.grid.id dan beberapa sumber lainnya