Kisah Mangkunegaran terkait erat dengan Kerajaan Mataram Islam. Kerajaan tersebut mulai goyah karena beban kerusuhan politik dan sosial ketika VOC, perusahaan dagang Belanda, mulai mencampuri urusan kerajaan.
Di tengah kekacauan ini, Raden Mas Said bangkit untuk melawan VOC, berusaha memulihkan ketertiban di istana yang berantakan. Mangkunegaran adalah kadipaten yang independen, yang memerintah wilayahnya sendiri.
Kemerdekaan ini bertahan hingga fajar Kemerdekaan Indonesia. Namun, selama Revolusi Sosial di Surakarta dari tahun 1945 hingga 1950, Mangkunegaran kehilangan kekuatan politiknya tetapi terus berfungsi dalam bidang sosial dan budaya.
Perjanjian ini mengangkat Raden Mas Said ke pangkat Pangeran Miji, gelar yang hanya diikuti oleh Putra Mahkota, atau Adipati Anom. Sebagai Pangeran Miji, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I menguasai 4.000 cacah tanah yang tersebar di wilayah Kaduang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, dan Pajang, baik di utara maupun selatan.
Perjanjian Salatiga yang ditandatangani pada 17 Maret 1757 menandai berakhirnya perselisihan Dinasti Mataram Islam. Pada hari itu terjalin saling pengertian yang berujung pada lahirnya Praja Mangkunegaran di bawah pimpinan Raden Mas Said yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkoenagoro Senopati Ing Ayoedha Soedibyaningprang.
Dengan tercapainya Perjanjian Salatiga, guna menjaga kewibawaan demi persatuan dan kesatuan Praja beserta kawula Mangkunegaran, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I bersama para pendukung setianya Punggowo Baku Kawandoso Joyo Mangkoenagoro I, mengokohkan kekuatan Praja Mangkunegaran dengan tiga pilar elemen utama, yakni:
1. Falasafah Tri Dharma
2. Hanebu Sauyun
3. Tiji Tibeh
Sumber: Mangkunegaran.id
