Wabah penyakit selalu menghantui manusia, dan Kota Surakarta tidak terkecuali. Jika kita menilik kembali sejarah Indonesia, kita menemukan wabah di antara yang paling mematikan. Penyakit ini, yang lahir dari bakteri Yersinia pestis, menyerang ketika seekor kutu, setelah memakan hewan yang terinfeksi—mungkin tikus, kelinci, atau anjing liar—menggigit seseorang.
Wabah itu merupakan konsekuensi dari cara hidup masyarakat dan lingkungan yang kotor. Rumah-rumah yang tidak teratur, dibangun dengan bahan lembab, menjadi tempat berlindung bagi tikus. Ketika tikus-tikus yang terinfeksi ini mati, kutu-kutu mereka mencari inang baru, dengan mudah menemukan jalan mereka ke manusia.
Pada tahun 1921, ia mendirikan Rumah Sakit Ziekenzorg, yang pertama dari jenisnya di Surakarta, yang didanai setiap tahun oleh Mangkunegaran. Di samping rumah sakit, didirikan pula poliklinik, dengan delapan poliklinik tercatat pada tahun 1924 untuk membantu mereka yang jauh dari rumah sakit utama. Wabah penyakit adalah siklus yang tak henti-hentinya.
Meskipun penyakitnya mungkin berbeda, akarnya sering kali sama—pilihan gaya hidup dan pengabaian lingkungan. Keberhasilan Mangkunegaran dalam memerangi wabah merupakan bukti dari tindakan kolektif. Upaya K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII hanya mungkin terjadi karena masyarakat memiliki komitmen yang sama terhadap kesehatan.
Ia mengisolasi yang sakit. Orang yang terinfeksi dikurung, kesehatannya dipantau, dan dirawat dalam isolasi. Terakhir, ia menanamkan budaya kebersihan. Masyarakat didorong untuk menjemur tempat tidur dan menyapu rumah secara teratur, diawasi oleh Pes Mantri, dengan sanksi bagi yang tidak mematuhinya.
Ia memperbaiki rumah yang dianggap tidak layak huni. Kepala Dinas Pemberantasan Wabah Mangkunegaran Praja memastikan bahwa rumah-rumah memenuhi standar kesehatan—lantai kering, ventilasi yang baik, tidak ada genangan air, dan sumur yang terlindungi dari kontaminasi.
Ia juga membangun pemandian dan toilet umum. Banyak rumah tidak memiliki kamar mandi bersih, sehingga penduduk terpaksa menggunakan sungai untuk mandi dan mencuci, yang sering kali tercemar. K.G.P.A.A. Mangkoenagoro VII mendirikan berbagai fasilitas umum, termasuk Ponten Mangkunegaran di Desa Ketelan yang masih berdiri hingga kini.
Pada tahun 1915 hingga 1929, wabah pes mulai terasa di daerah pedalaman, khususnya di Mangkunegaran dengan jumlah kasus mencapai 1.043 kasus. Di Kecamatan Kota Mangkunegaran sendiri terdapat 785 kasus, diikuti oleh Kecamatan Colomadu dan Gondangrejo dengan masing-masing 178 kasus dan 80 kasus. Sementara itu, di Karanganyar hanya terdapat 24 kasus yang tersebar di seluruh wilayahnya. Kepadatan penduduk di Mangkunegaran menjadikan daerah tersebut sebagai lahan subur bagi wabah pes.
Sumber: Mangkunegaran.id
