Sungkeman bagaikan jeda yang tenang di tengah kesibukan hidup, membantu orang-orang untuk berpikir tentang kebersamaan dan rasa hormat.
Meskipun zaman telah berubah, masyarakat Jawa masih mempraktikkan tradisi ini, dan penting untuk tetap melestarikannya sebagai bagian dari budaya mereka. Dahulu kala, pada akhir tahun 1700-an, seorang pemimpin bernama K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I memulai tradisi ini.
Setelah salat Idul Fitri, ia mengundang para pembantu dan prajuritnya untuk menemuinya di istana. Selama pertemuan itu, mereka menunjukkan rasa hormat mereka dengan mencium tangan dan lututnya saat ia duduk di singgasananya.
Sikap ini kemudian dikenal sebagai tradisi sungkeman. K.G.P.A.A. Mangkoenagoro I menciptakan sungkeman agar ia dapat bertemu dengan semua orang sekaligus, yang menghemat waktu dan tenaga. Masyarakat Jawa menyukai ide ini, dan itu menjadi bagian penting dari perayaan Idul Fitri mereka.
Sungkeman juga menjadi momen bagi masyarakat untuk saling memaafkan, merasa bersih di hati, dan memperkuat persahabatan mereka. Sungkeman merupakan tradisi khusus yang memadukan budaya Jawa dan Islam.
Kata “sungkem” berarti menundukkan kepala atau menunjukkan rasa hormat. Tradisi ini berasal dari budaya Jawa dan terkait dengan gagasan memohon ampunan dalam Islam.
Sumber: Mangkunegaran.id
