Serat Tripama, yang terdiri dari tujuh bait tembang dhandhanggula, adalah karya sastra Jawa ciptaan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkoenagoro IV yang mengajarkan nilai-nilai keprajuritan. Nama Tripama berasal dari dua kata, tri yang berarti tiga dan pama yang berarti perumpamaan atau contoh, sehingga Tripama berarti tiga teladan. Karya ini mengisahkan tentang tiga tokoh pewayangan yang dijadikan panutan bagi para prajurit. Selain itu, serat ini juga berisi ajaran mengenai kepemimpinan, keberanian, dan pengabdian.
Tiga tokoh pewayangan yang dijadikan teladan dalam Serat Tripama adalah Patih Suwanda dari Kerajaan Maespati, Kumbakarna dari Kerajaan Alengka, dan Adipati Karna dari Kerajaan Astina. Tokoh pertama yang diceritakan adalah Patih Suwanda, yang menunjukkan kesetiaan tanpa batas kepada pemimpin dan negara, rela berkorban jiwa raga demi menunaikan tugas dan perintah yang diberikan kepadanya. Pada bait pertama, K.G.P.A.A. Mangkoenagoro IV menganjurkan untuk meneladani Patih Suwanda dalam tiga aspek, yaitu kecerdasan, kemampuan, dan keberanian.
Tokoh kedua dalam serat ini adalah Raden Kumbakarna, yang menggambarkan keberanian serta cinta tanah air yang teguh. Meski memiliki kekuatan luar biasa, ia tetap menjunjung tinggi dharma dan kebenaran. Tokoh pewayangan terakhir yang diceritakan dalam Serat Tripama adalah Adipati Karna, sosok penuh semangat juang dan pantang menyerah. Walaupun sering menghadapi situasi sulit, ia tetap teguh pada prinsipnya.
Nilai-nilai kepahlawanan, kesetiaan, dan pengabdian dalam Serat Tripama tidak hanya relevan di masa lalu, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda saat ini. Di tengah era yang penuh tantangan, sosok prajurit dalam serat ini mengingatkan kita akan pentingnya integritas, keberanian, dan semangat berjuang demi kebaikan bersama. Dengan memahami dan menerapkan nilai-nilai luhur tersebut, kita dapat membangun bangsa yang lebih kuat dan berbudi pekerti mulia.