Sejarah Solo tidak bisa dilepaskan dari kisah panjang Kerajaan Mataram Islam. Setelah keraton Kartasura rusak akibat pemberontakan, Raja Pakubuwono II memindahkan pusat pemerintahan ke sebuah desa yang kini menjadi Kota Solo—dan mendirikan Kasunanan Surakarta.
Namun konflik tidak berhenti. Muncullah Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tak lama kemudian, lewat Perjanjian Salatiga (1757), lahirlah Mangkunegaran sebagai entitas ketiga di tengah dinamika kekuasaan Jawa.
Mangkunegaran berdiri dengan semangat reformis yang kuat, dipimpin oleh Raden Mas Said—Mangkunegara I—seorang bangsawan pejuang. Ia menjadikan Mangkunegaran sebagai pusat kebudayaan alternatif yang lebih terbuka, progresif, dan membumi.
Pentingnya kisah ini bukan hanya dalam pembagian politik, tetapi juga dalam pembentukan identitas budaya Jawa. Solo tumbuh sebagai pusat pertemuan antara warisan klasik dan inovasi sosial-budaya.
Kini, jejak peradaban itu bisa kamu rasakan langsung di kawasan Mangkunegaran, salah satunya melalui pengalaman kuliner di Pracimasana dan momen bersantai berbudaya di Pracimaloka.