Pracimasana

Jl. RA Kartini, Kota Surakarta

081326159199

WhatsApp Customer Support

Buka Setiap Hari

Jam Buka: 10.00 - 22.00

Sejarah Terpecahnya Mataram Islam: Dari Kerajaan Besar Menjadi Empat Pusat Kekuasaan Jawa

Kerajaan Mataram Islam adalah salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Berdiri sejak akhir abad ke-16, kerajaan ini sempat berjaya dan menjadi pusat kekuasaan politik, militer, dan budaya di Jawa Tengah. Namun, seiring berjalannya waktu, kerajaan ini mengalami berbagai konflik internal dan tekanan eksternal hingga akhirnya terpecah menjadi empat kekuatan politik utama: Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.

Artikel ini membahas secara kronologis bagaimana proses perpecahan Mataram Islam terjadi, apa saja faktor pemicunya, dan bagaimana keempat kerajaan hasil pecahannya tetap meninggalkan jejak budaya yang kuat hingga hari ini.


Awal Berdirinya Mataram Islam

Mataram Islam didirikan oleh Sutawijaya pada tahun 1586 di Kotagede (sekarang wilayah Yogyakarta). Ia adalah anak angkat dari Ki Ageng Pemanahan dan murid spiritual dari Sunan Kalijaga. Sutawijaya kemudian bergelar Panembahan Senapati, dan menjadikan kerajaan ini sebagai kelanjutan dari kekuatan Demak dan Pajang yang sebelumnya menjadi pusat Islam di Jawa.

Di masa awal berdirinya, Mataram Islam berupaya menyatukan berbagai kadipaten kecil di Jawa Tengah dan Timur. Strategi ekspansi dilakukan baik lewat kekuatan militer maupun pendekatan spiritual dan budaya. Keberhasilan penyatuan ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613–1645) yang dikenal sebagai pemimpin besar dan visioner. Beliau bahkan pernah menyerang Batavia untuk menantang dominasi VOC Belanda.


Masa Kemunduran dan Munculnya Konflik Internal

Setelah wafatnya Sultan Agung, kekuasaan Mataram mulai diguncang oleh konflik perebutan tahta dan intervensi asing. Amangkurat I, yang menggantikannya, dinilai otoriter dan memiliki hubungan yang buruk dengan para bangsawan serta ulama. Kebijakan-kebijakan kontroversialnya justru memperbesar jurang antara pusat dan daerah.

Kondisi ini dimanfaatkan oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang sejak awal berusaha memperlemah kerajaan-kerajaan lokal. VOC tidak segan memberikan dukungan militer kepada kelompok yang berseberangan dengan raja demi kepentingan dagang dan politik mereka. Perebutan kekuasaan yang berkepanjangan inilah yang kemudian memicu terjadinya beberapa perang saudara, salah satunya adalah Perang Suksesi Jawa.


Perjanjian Giyanti 1755: Awal Perpecahan Besar

Klimaks dari konflik berkepanjangan itu terjadi pada pertengahan abad ke-18. Perseteruan antara Pakubuwono III (raja Mataram yang pro-VOC) dan Pangeran Mangkubumi (adik raja yang berseberangan) menyebabkan kekacauan yang sulit dikendalikan.

Untuk meredam konflik dan melindungi kepentingan dagang di Jawa, VOC memfasilitasi sebuah perjanjian penting yang dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti, ditandatangani pada 13 Februari 1755. Hasil dari perjanjian ini:

  • Kerajaan Mataram secara resmi dibagi dua.
  • Pakubuwono III tetap menguasai Kasunanan Surakarta.
  • Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I, dan memimpin wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Perjanjian ini menandai titik balik sejarah Jawa, karena secara resmi menghapus Mataram sebagai kerajaan tunggal dan melahirkan dua pusat kekuasaan baru yang memiliki otonomi masing-masing.


Perjanjian Salatiga 1757: Lahirnya Kadipaten Mangkunegaran

Setelah Giyanti, konflik belum sepenuhnya usai. Seorang bangsawan muda dan tangguh bernama Raden Mas Said, yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, menolak tunduk kepada dua pihak: Kasunanan dan VOC.

Dengan pasukan kecil dan strategi gerilya, ia berhasil memenangkan berbagai pertempuran kecil dan mendapat dukungan rakyat. Namun, pada akhirnya, untuk meredam ketegangan lebih lanjut, disepakati Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757.

Dari perjanjian itu, Raden Mas Said diakui sebagai pemimpin dari kerajaan baru bernama Kadipaten Mangkunegaran, yang berlokasi di Surakarta. Meski lebih kecil, Mangkunegaran memiliki kekuatan militer sendiri dan otonomi yang diakui, serta menjadi pusat seni dan budaya yang berkembang pesat.


Terbentuknya Kadipaten Pakualaman pada 1813

Situasi serupa kembali terjadi di wilayah Yogyakarta. Pada awal abad ke-19, saat Inggris mengambil alih Jawa dari tangan Belanda, muncul seorang tokoh bernama Pangeran Notokusumo (putra Hamengkubuwono I) yang turut membantu pemerintah Inggris saat terjadi kerusuhan di keraton Yogyakarta.

Sebagai bentuk penghargaan, pemerintah kolonial Inggris membentuk wilayah baru bernama Kadipaten Pakualaman pada tahun 1813, dan mengangkat Pangeran Notokusumo sebagai Paku Alam I. Tujuannya adalah menyeimbangkan kekuatan antara sultan yang ada dengan sekutu Inggris di dalam keraton.

Dengan berdirinya Pakualaman, maka lengkaplah empat kekuatan politik utama di tanah Jawa pasca perpecahan Mataram: Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman.


Empat Keraton, Satu Warisan Budaya

Meski Mataram Islam telah lama runtuh sebagai satu entitas tunggal, keempat kerajaan hasil pecahannya tetap hidup dan berkembang. Masing-masing membentuk sistem pemerintahan, militer, budaya, dan tradisinya sendiri. Bahkan hingga saat ini, empat keraton tersebut masih aktif berperan dalam pelestarian kebudayaan Jawa:

  • Kasunanan Surakarta dikenal dengan tradisi upacara dan tari-tari klasiknya.
  • Kesultanan Yogyakarta menjadi simbol kuat budaya dan memiliki status istimewa dalam struktur kenegaraan Indonesia.
  • Mangkunegaran aktif dalam seni pertunjukan, sastra, dan pendidikan tradisional.
  • Pakualaman turut mempertahankan nilai-nilai luhur serta mengisi peran strategis dalam sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Penutup: Warisan Sejarah yang Tak Pernah Padam

Perpecahan Mataram Islam bukan semata akibat konflik politik dan perebutan kekuasaan. Ia adalah cermin dari dinamika sejarah Jawa yang rumit—penuh intrik, diplomasi, dan taktik penjajahan. Namun, dari perpecahan itulah lahir keberagaman budaya keraton yang memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia hari ini.

Keempat pusat kekuasaan ini bukan hanya sisa sejarah, melainkan juga jantung identitas Jawa. Mereka masih hidup dalam tarian, arsitektur, bahasa, dan adat istiadat yang lestari hingga kini. Dari satu kerajaan, lahirlah empat warisan.


diolah dari berbagai sumber.

0
  • ⚠️ Checkout hanya dapat dilakukan jika Anda telah memasukkan item reservasi. Silakan kembali ke halaman reservasi.
0
Reservasi/Menu Anda
Keranjang Belanja Anda KosongKembali untuk Pilih Reservasi/Menu Anda