Pracimasana

Jl. RA Kartini, Kota Surakarta

081326159199

WhatsApp Customer Support

Buka Setiap Hari

Jam Buka: 10.00 - 22.00

Sejarah Kota Solo: Dari Kerajaan Mataram ke Kota Budaya Modern

sumber foto: surakarta.go.id

Kota Solo atau Surakarta adalah salah satu kota tertua dan paling berpengaruh dalam sejarah Pulau Jawa. Dikenal sebagai pusat budaya Jawa, kota ini menyimpan warisan panjang yang mencakup politik kerajaan, perjuangan melawan penjajah, perkembangan seni-budaya, hingga perannya dalam pembentukan identitas nasional. Namun, di balik reputasinya sebagai kota budaya, Solo memiliki kisah sejarah yang penuh dinamika dan transformasi selama berabad-abad.


Awal Mula: Pemindahan Ibukota Mataram

Sejarah kota Solo bermula dari konflik internal di Kerajaan Mataram Islam pada awal abad ke-18. Setelah wafatnya Sultan Agung, kekuasaan Mataram melemah akibat perebutan tahta dan intervensi Belanda. Pada masa pemerintahan Pakubuwono II, keraton yang saat itu berada di Kartasura mengalami pemberontakan besar-besaran yang mengakibatkan kehancuran kota tersebut.

Demi keamanan dan stabilitas, Pakubuwono II memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke lokasi baru yang dianggap lebih strategis dan tenang. Maka, pada tahun 1745, pusat kekuasaan dipindahkan ke wilayah Solo yang saat itu masih berupa tanah pertanian dan hutan. Tempat ini kemudian dikenal sebagai Surakarta Hadiningrat, dan menjadi keraton baru bagi raja Mataram.


Era Perjanjian Giyanti dan Lahirnya Surakarta

Lima tahun setelah pendirian Surakarta, terjadi peristiwa besar dalam sejarah Jawa: Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Perjanjian ini membagi kerajaan Mataram menjadi dua bagian—Surakarta dan Yogyakarta—sebagai akibat dari konflik antara Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi. Perpecahan ini menandai awal dari sistem kerajaan ganda di Jawa.

Surakarta pun resmi menjadi ibu kota Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang dipimpin oleh Pakubuwono III. Meski menjadi raja, kekuasaan politiknya mulai terbatas karena campur tangan VOC Belanda. Kendati demikian, Surakarta tetap berkembang sebagai pusat kebudayaan Jawa klasik yang mempertahankan tata krama, seni tari, musik gamelan, dan adat istiadat tradisional.


Berdirinya Mangkunegaran: Dinasti Kedua di Kota Solo

Situasi politik di Jawa belum stabil pasca Giyanti. Seorang bangsawan muda bernama Raden Mas Said, yang menolak tunduk pada kekuasaan VOC maupun Surakarta, terus melawan melalui strategi perang gerilya. Setelah bertahun-tahun bertempur, akhirnya tercapai kompromi melalui Perjanjian Salatiga pada tahun 1757.

Perjanjian itu melahirkan Kadipaten Mangkunegaran, wilayah semi-otonom di dalam Surakarta yang dipimpin oleh Raden Mas Said dengan gelar Mangkunegara I. Keberadaan dua pusat kekuasaan—Kasunanan dan Mangkunegaran—membentuk struktur unik dalam tatanan pemerintahan kota Solo, yang berlanjut hingga masa kemerdekaan Indonesia.


Masa Kolonial: Pengaruh Belanda dan Awal Modernisasi

Pada masa kolonial Belanda, Solo menjadi salah satu kota administratif penting di Jawa Tengah. Belanda membangun infrastruktur jalan, jalur kereta api, serta gedung-gedung pemerintah. Pemerintah kolonial juga mendirikan institusi pendidikan dan memfasilitasi perdagangan batik yang berkembang pesat di kota ini.

Meski berada di bawah pengawasan Belanda, para penguasa keraton tetap mempertahankan otonomi budaya dan spiritual. Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran berperan penting dalam pelestarian kesenian Jawa, termasuk penciptaan tari-tarian klasik seperti Bedhaya Ketawang, Serimpi, serta pengembangan sastra dan gamelan.


Masa Pergerakan dan Revolusi

Solo turut memainkan peran dalam pergerakan nasional. Banyak tokoh dari Solo yang aktif dalam organisasi pergerakan seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, hingga Partai Nasional Indonesia. Bahkan pada awal abad ke-20, Solo dikenal sebagai salah satu pusat penerbitan surat kabar dan literasi politik yang berkembang pesat.

Pada masa revolusi kemerdekaan, Solo menjadi wilayah strategis yang beberapa kali berganti tangan antara pasukan Belanda dan Republik Indonesia. Masyarakat Solo juga aktif dalam perlawanan rakyat melalui berbagai laskar dan kelompok pemuda.


Masa Orde Baru hingga Reformasi: Kota yang Penuh Gejolak

Masuk era Orde Baru, Solo berkembang menjadi kota pendidikan, perdagangan, dan industri. Namun, di balik pertumbuhan tersebut, kota ini juga mengalami berbagai ketegangan sosial. Kerusuhan tahun 1998 menjadi salah satu peristiwa besar yang meninggalkan trauma bagi masyarakat, terutama di sektor ekonomi dan sosial.

Setelah reformasi, Solo mulai bangkit kembali dan melakukan penataan kota. Banyak bangunan tua direstorasi, pasar-pasar tradisional diperbaiki, dan akses ke kawasan wisata budaya diperluas.


Era Modern: Solo Sebagai Kota Budaya dan Wisata

Di abad ke-21, Solo memantapkan diri sebagai kota budaya yang mengedepankan pelestarian tradisi sekaligus membuka ruang untuk kreativitas baru. Pemerintah kota aktif menyelenggarakan event budaya seperti Solo Batik Carnival, Festival Payung Indonesia, dan berbagai konser gamelan serta pertunjukan tari klasik dan kontemporer.

Kota ini juga semakin dikenal sebagai destinasi wisata edukatif dan spiritual. Wisatawan dari dalam dan luar negeri datang untuk mengunjungi Keraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka, Kampoeng Batik Laweyan, dan tempat-tempat ikonik lainnya.

Dari aspek infrastruktur, Solo terhubung melalui Bandara Internasional Adi Soemarmo, jalur kereta bandara (airport rail link), serta Tol Trans Jawa. Ini menjadikan Solo semakin mudah diakses dari berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.

Memasuki era modern, Kota Solo semakin menegaskan dirinya sebagai pusat budaya yang tidak hanya melestarikan nilai-nilai tradisional, tetapi juga memberi ruang bagi inovasi dan pengembangan destinasi wisata yang elegan serta berkelas. Pemerintah kota bersama berbagai elemen masyarakat aktif menghidupkan ruang-ruang publik, merevitalisasi kawasan bersejarah, serta mendorong event budaya berskala nasional dan internasional.

Salah satu transformasi paling menarik dalam satu dekade terakhir adalah bangkitnya kawasan Mangkunegaran sebagai ikon baru pariwisata dan gaya hidup di Solo. Tak sekadar menjadi situs sejarah, area ini kini dihidupkan kembali melalui sebuah inisiatif kontemporer bernama Pracima Mangkunegaran.

Proyek ini mengangkat semangat pelestarian warisan budaya melalui sentuhan kuliner, arsitektur, dan pengalaman gaya hidup yang dikurasi secara eksklusif. Di dalam kompleksnya terdapat dua destinasi unggulan:

✨ Pracimasana

Pracimasana adalah ruang makan istana yang dihidupkan kembali sebagai pengalaman Royal Fine Dining khas Mangkunegaran. Di tempat ini, tamu tidak hanya menikmati sajian dengan estetika tinggi, tetapi juga merasakan atmosfer keagungan budaya Jawa yang begitu kental. Perjamuan di Pracimasana menghadirkan kolaborasi antara tradisi kuliner kerajaan dan pendekatan modern dalam hospitality—dirancang untuk memberikan kesan eksklusif bagi wisatawan maupun pelaku bisnis yang mencari pengalaman istimewa di Solo.

✨ Pracimaloka

Sementara itu, Pracimaloka merupakan oasis baru di tengah hiruk pikuk kota. Sebuah destinasi tea & pastry garden yang mengusung konsep santai namun tetap anggun. Dibalut arsitektur tropis dengan sentuhan klasik Jawa, Pracimaloka menawarkan tempat bersantai yang cocok untuk keluarga, pasangan, maupun solo traveler. Di sinilah budaya minum teh dan jamuan sore diangkat sebagai pengalaman berkelas yang menyatu dengan suasana istana.

Kehadiran Pracimasana dan Pracimaloka membuktikan bahwa pelestarian budaya tidak harus bersifat kaku. Justru, ketika dikemas secara kreatif dan relevan dengan selera masa kini, warisan leluhur bisa menjadi daya tarik wisata unggulan yang memberi manfaat ekonomi sekaligus memperkuat identitas kota.

Melalui inovasi seperti Pracima Mangkunegaran, Solo tidak hanya dikenal karena keratonnya, tetapi juga karena kemampuannya menyambut masa depan dengan tetap menjejak pada akar sejarahnya. Inilah wajah baru Solo—kota budaya yang hidup, dinamis, dan terus berkembang.


Penutup: Warisan Sejarah yang Hidup dalam Kehidupan Modern

Sejarah panjang Kota Solo merupakan cerminan kompleksitas budaya Jawa yang penuh warna. Dari kota kerajaan hingga pusat seni, dari masa pemberontakan hingga kota modern—Solo adalah ruang yang selalu bergerak, bertransformasi, namun tetap memegang teguh akar tradisinya.

Hingga kini, denyut kehidupan tradisional masih terasa di tengah-tengah hiruk-pikuk modernitas. Tradisi batik, upacara adat, musik gamelan, hingga arsitektur keraton adalah warisan yang tak hanya dijaga, tapi juga terus dikembangkan oleh generasi muda.

Solo bukan sekadar kota di tengah Jawa. Ia adalah jiwa dari peradaban Jawa itu sendiri.

0
  • ⚠️ Checkout hanya dapat dilakukan jika Anda telah memasukkan item reservasi. Silakan kembali ke halaman reservasi.
0
Reservasi/Menu Anda
Keranjang Belanja Anda KosongKembali untuk Pilih Reservasi/Menu Anda